”Terlaksananya
pengelolaan keanekaragaman hayati dan peningkatan populasi spesies prioritas
utama yang terancam punah sebesar 3% sesuai kondisi biologis dan ketersediaan
habitat. Besarnya angka 3% dihitung dari kondisi tahun 2008 sesuai ketersediaan
habitat”.
(Pernyataan
diatas merupakan salah satu dari tujuh sasaran strategis bidang Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam yang ditetapkan dalam Rencana
Strategis
2010-2014 Direktorat Jenderal PHKA)
Dalam Lokalatih Evaluasi 2011, ada pertanyaan yang timbul
dalam benak saya, peningkatan populasi 3%
kondisi tahun 2008, bagaimana mekanisme penghitungannya? Berdasarkan
apa? Per 2008, apakah sudah ada database populasi spesies prioritas utama
terancam punah? Jika memang ada, apakah sudah pernah ditetapkan sehingga dapat
diukur peningkatannya, atau paling tidak sebagai starting point keberhasilan yang akan diukur? Ya, jika tegakan akan
mudah dihitung, tetapi bagaimana dengan satwa?
Pertanyaan tersebut muncul karena saya mencerna peningkatan
populasi spesies tersebut, secara numeric 1, 2, 3,..., dst. Sedangkan dalam
suatu kegiatan inventarisasi jenis sekalipun, sangat sulit mengukur populasi
spesies. Kalau kita berbicara mengenai tegakan, mungkin dapat diketahui
populasi secara numerik terhadap satu spesies tertentu, namun jika mengenai
satwa, metode apapun yang kita pergunakan dalam pengukuran populasi, hasilnya
adalah dugaan dan tetap akan terjadi bias. Untuk beberapa spesies, seperti
penyu mungkin dapat terbantu dengan adanya tagging, namun selain itu?
Ketika pertanyaan ini saya lontarkan, ternyata kita
dihadapkan pada penghitungan sederhana yaitu lokasi kegiatan, bukan numerik.
Dalam suatu kesempatan, saya menyampaikan cernaan saya terhadap populasi
species terancam punah tersebut. Meskipun dipandang baik, sebagai bentuk
akuntabilitas kita dalam pelaksanaan kegiatan baik secara teknis maupun
pengganggaran, namun satu hal yang dapat saya ambil sarinya.
Bahwa kinerja yang saat ini merupakan suatu penilaian
keberhasilan instansi pemerintah, membutuhkan pengukuran yang realistis.
Kinerja haruslah diimbangi dengan indikator keberhasilannya, sehingga dengan
mudah dapat terukur. Lokasi merupakan indikator yang dipandang realistis, tepat
serta memudahkan dalam pengukuran tingkat keberhasilannya dibandingkan penghitungan
numerik.
Sejenak kita terselamatkan dengan indikator yang demikian
namun hendaknya kita jangan terlena, karena setiap waktu akan selalu terjadi
perubahan. Melalui basis kinerja yang ditetapkan sejak tahun 2010, mau tidak
mau, kita mulai dituntut akan pertanggungjawaban atas setiap kegiatan yang kita
realisasikan. Suatu saat nanti, ketika terjadi pergeseran, dimana penetapan
kinerja tidaklah berindikatorkan lokasi tetapi populasi secara numeric, apakah
kita sudah siap dengan database populasi spesies tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan?
Perubahan tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah dari
realisasi anggaran menjadi kinerja, kiranya dapat memotivasi kita untuk mulai
”menghitung” kekayaan keanekaragaman hayati kita. Memang tidaklah mudah, namun
membangun jaringan kerjasama dengan stakeholder diyakini akan membantu kita
dalam pencapaian penghitungan tersebut.
Bukankah lebih baik sedia payung sebelum hujan? (Adelina)