Monday, May 13, 2013

Hati-hati pada Indikator Peningkatan Populasi



”Terlaksananya pengelolaan keanekaragaman hayati dan peningkatan populasi spesies prioritas utama yang terancam punah sebesar 3% sesuai kondisi biologis dan ketersediaan habitat. Besarnya angka 3% dihitung dari kondisi tahun 2008 sesuai ketersediaan habitat”.
(Pernyataan diatas merupakan salah satu dari tujuh sasaran strategis bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang ditetapkan dalam Rencana
Strategis 2010-2014 Direktorat Jenderal PHKA) 

Dalam Lokalatih Evaluasi 2011, ada pertanyaan yang timbul dalam benak saya, peningkatan populasi 3%  kondisi tahun 2008, bagaimana mekanisme penghitungannya? Berdasarkan apa? Per 2008, apakah sudah ada database populasi spesies prioritas utama terancam punah? Jika memang ada, apakah sudah pernah ditetapkan sehingga dapat diukur peningkatannya, atau paling tidak sebagai starting point keberhasilan yang akan diukur? Ya, jika tegakan akan mudah dihitung, tetapi bagaimana dengan satwa?
Pertanyaan tersebut muncul karena saya mencerna peningkatan populasi spesies tersebut, secara numeric 1, 2, 3,..., dst. Sedangkan dalam suatu kegiatan inventarisasi jenis sekalipun, sangat sulit mengukur populasi spesies. Kalau kita berbicara mengenai tegakan, mungkin dapat diketahui populasi secara numerik terhadap satu spesies tertentu, namun jika mengenai satwa, metode apapun yang kita pergunakan dalam pengukuran populasi, hasilnya adalah dugaan dan tetap akan terjadi bias. Untuk beberapa spesies, seperti penyu mungkin dapat terbantu dengan adanya tagging, namun selain itu?
Ketika pertanyaan ini saya lontarkan, ternyata kita dihadapkan pada penghitungan sederhana yaitu lokasi kegiatan, bukan numerik. Dalam suatu kesempatan, saya menyampaikan cernaan saya terhadap populasi species terancam punah tersebut. Meskipun dipandang baik, sebagai bentuk akuntabilitas kita dalam pelaksanaan kegiatan baik secara teknis maupun pengganggaran, namun satu hal yang dapat saya ambil sarinya.
Bahwa kinerja yang saat ini merupakan suatu penilaian keberhasilan instansi pemerintah, membutuhkan pengukuran yang realistis. Kinerja haruslah diimbangi dengan indikator keberhasilannya, sehingga dengan mudah dapat terukur. Lokasi merupakan indikator yang dipandang realistis, tepat serta memudahkan dalam pengukuran tingkat keberhasilannya dibandingkan penghitungan numerik.
Sejenak kita terselamatkan dengan indikator yang demikian namun hendaknya kita jangan terlena, karena setiap waktu akan selalu terjadi perubahan. Melalui basis kinerja yang ditetapkan sejak tahun 2010, mau tidak mau, kita mulai dituntut akan pertanggungjawaban atas setiap kegiatan yang kita realisasikan. Suatu saat nanti, ketika terjadi pergeseran, dimana penetapan kinerja tidaklah berindikatorkan lokasi tetapi populasi secara numeric, apakah kita sudah siap dengan database populasi spesies tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan?
Perubahan tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah dari realisasi anggaran menjadi kinerja, kiranya dapat memotivasi kita untuk mulai ”menghitung” kekayaan keanekaragaman hayati kita. Memang tidaklah mudah, namun membangun jaringan kerjasama dengan stakeholder diyakini akan membantu kita dalam pencapaian penghitungan tersebut.
Bukankah lebih baik sedia payung sebelum hujan? (Adelina)